Pages

  • Home
  • Beranda
facebook instagram linkedin

Pasukan Semut

    • Home
    • About Me

    Review buku check!!

    Hallo teman-teman pembaca. Terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk mampir di sini.

    Kali ini topiknya seru nih, teman-teman. Maaf ya kalau dalam segi style penulisan saya tidak seperti tulisan sebelum-sebelumnya. Karena topiknya seru, maka saya akan membawakannya dengan style penulisan serius, tapi tetap dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

    Peristiwa yang akan saya jabarkan dalam tulisan kali ini benar-benar pernah terjadi, pun judul tulisan ini, Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa, karya Nicholas Herriman, merupakan judul dari sebuah buku yang menelusuri peristiwa ini secara mendalam. 

    Bagi kamu yang tertarik untuk membacanya lebih dalam, bisa beli di sini.

    So, tanpa berlama-lama lagi, langsung ke TKP!!!!


    Sejak Indonesia memerdekakan diri penjajahan kolonialisme pada 17 Agustus 1945 gejolak permasalahan demokras di Indonesia mengalami pasang surut. Pada era Soekarno tercatat bila Indonesia pernah mengalami dua kali pergantian sistem demokrasi; parlementer dan terpimpin. Orde Baru nampaknya memberikan suatu pencerahan terhadap demokrasi di Indonesia yang menawarkan demokrasi pancasila. Namun sayangnya demokrasi pada masa ini cenderung mengarah ke bentuk tirani, dengan mengatasnamakan keadilan untuk masyarakat.

    Jatuhnya era Soeharto ditandai dengan munculnya pergerakan-pergerakan oleh mahasiswa yang merasa gerah dengan rezim Orde Baru yang sangat membatasi hak-hak asasi manusia. Kemudian kekisruhan terjadi di mana-mana hingga ke pelosok-pelosok desa. Nampaknya dalam setiap pergantian sistem demokrasi selalu menghadirkan kekerasan sebagai awal memasuki sistem demokrasi yang baru. Hal tersebut dapat kita amati pada kekisruhan 1965 yang menandai pergantian dari era Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno menuju era Orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Kemudian kekisruhan juga terjadi ketika lepasnya rezim Orde Baru dan memasuki era Reformasi yang dipimpin oleh BJ Habibie kala itu.

    Buku Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa memberikan gambaran ketika terdapatnya perjumpaan antara negara dengan komunitas lokal. Bentuk negara yang telah memasuki era reformasi dan demokrasi yang menjunjung hak asasi manusia sehingga ketika peran negara melemah dalam level komunitas lokal (desa) maka dengan demikian demokrasi seakan-akan menjadi “alat” ampuh dalam pembenaran terhadap aksi kekerasan yang terjadi. 

    Bentuk kekerasan yang terjadi ketika peran state melemah dalam komunitas lokal adalah serentetan pembunuhan terhadap individu yang dianggap sebagai “dukun” dengan cara main hakim sendiri dan pada akhirnya kekisruhan ini meluas hingga berbagai wilayah di Jawa Timur pada tahun 1998.

    Meluasnya kekerasan dengan cara main hakim sendiri hingga terbunuh yang terjadi pada individu dianggap “dukun” menjadi bukti nyata bahwa aparat (state) tunduk terhadap tekanan yang diberikan oleh masyarakat. Isu mengenai “dukun santet” di Banyuwangi merupakan puncak dari serentetan permasalahan konflik di Indonesia pada masa reformasi di mana state dianggap tidak berdaya dalam melindungi warganya yang terkena “santet. ” Lebih jauh, buku ini memberikan gambaran bila adanya pembiaran dari aparat negara (polisi, tentara, kepala RT/birokrasi) terhadap aksi yang dilakukan oleh masyarakat.

    Hal yang diperhatikan adalah ketika “santet” saat ini sudah menjadi sebuah kebudayaan dalam pandangan masyarakat banyuwangi. Santet dalam hal ini berarti ilmu hitam yang membawa malapetaka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan kekuatan ini melalui perantara orang pintar yang disebut sebagai dukun. Biasanya kekuatan ini menggunakan jasa makhluk tak kasat mata dalam aktivitasnya. Warga dalam komunitas lokal di Banyuwangi percaya bahwa “dukun santet” secara aktif menggunakan cara-cara gaib untuk menghukum warga desa lainnya.[1]

    Hal unik yang menarik perhatian adalah ketika aparat negara (kepala desa, birokrasi) mengambil peran menjadi pihak ke tiga dalam penyelesaian masalah (upaya mediasi), negara, yang di representasikan dengan peran kepala desa, akan menghadapi perlawanan keras dari warga setempat. Hal tersebut dapat kita temui pada contoh kasus yang dituangkan di dalam buku. Ketika individu diduga pelaku dalam pembunuhan “dukun santet”, warga akan secara bersama-sama melakukan aksi demonstran dan mendesak aparat kepolisian untuk membebaskan para terduga pelaku pembunuhan. Dengan alasan keamanan dan tidak ingin menimbulkan korban jiwa, negara (aparat keamanan) terpaksa tunduk atas aksi demonstran tersebut dan melepaskan terduga pelaku pembunuhan dengan bersyarat.

    Secara garis besar, buku ini mendeskripsikan bentuk-bentuk perlawanan dari bawah (komunitas lokal atau desa). Perlawanan ini terjadi karena aparat setempat (kepala desa, polisi dan tentara) berusaha menjadi mediator dalam konflik pembunuhan atas individu yang di percayai sebagai seorang dukun santet. Alih-alih menjalankan kewajibannya sebagai pihak mediator agar suasana kondusif, warga yang tergabung dalam masyarakat lokal tidak memberikan ruang untuk terjadinya mediator tersebut. Berdasarkan hal itu, Scott (1985) pernah menuliskan fenomena itu dengan istilah ‘senjata orang lemah’; bila perlawanan terbuka terlalu berbahaya atau tidak efektif, ‘orang lemah’ beralih, contohnya, menjadi malas, mencuri dari atasan dan bentuk-bentuk ‘perlawanan’ sehari-hari yang tidak terorganisasi lainnya”. [2]

    Saya melihat fokus kajian utama dalam tulisan ini yaitu untuk melihat fenomena sosial berupa kekerasan yang bersumber pada kebudayaan Banyuwangi, yaitu main hakim sendiri hingga terbunuh, serta hubungannya antara demokrasi, kekerasan dan budaya dalam peristiwanya. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nicholas Herriman dalam bukunya Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa, mengungkap bahwa proses terjadinya kekerasan yang terjadi di Banyuwangi bukanlah kekerasan yang bersifat alami yang disebabkan oleh kebudayaan main hakim sendiri. Melainkan di balik kekisruhan-kekisruhan tersebut terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi seperti: ketidak mampuan negara dalam melindungi warganya, tuduhan atas individu yang dianggap sebagai dukun santet, tunduknya aparatur negara terhadap tuntutan rakyat serta ketidaksanggupan pemimpin pemerintahan (kepala desa) sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

    Maka tak heran bila bentuk-bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh state dengan tujuan mengendalikan dan mengatur rakyat tidak berlaku pada masyarakat yang tinggal pada komunitas lokal (desa) di Banyuwangi, disebabkan semakin jauh dari pusat kota, hukum-hukum yang dikeluarkan oleh negara akan semakin melemah ketika memasuki masyarakat pada komunitas lokal (desa) dan lebih memilih menggunakan hukum yang berlaku pada komunitas sosial tersebut. Contohnya hukum main hakim sendiri terhadap terduga dukun santet hingga menyebabkan kematian.

    Berbicara mengenai persoalan dinamika kebudayaan dan kehidupan bermasyarakat, dalam karya etnografi karya Nicholas Herriman menyuguhkan gambaran yang jelas tentang persoalan dinamika kehidupan masyarakat komunitas lokal di Banyuwangi, baik sebelum terjadinya kekerasan terhadap terduga dukun santet maupun pasca kedatangan “kekuatan dari luar”. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut:


    “tidak mengejutkan bahwa pada saat lonjakan pembunuhan tahun 1998, sebelum kekuatan dari luar didatangkan, aparat negara setempat awalnya gagal membendung kekerasan, dan malah simpati terhadap kekerasan tersebut. Baru setelah kekuatan yang lebih besar dan lebih mengancam yang mencakup aparat polisi dari luar Banyuwangi lonjakan pembunuhan tertuduh “dukun santet” teratasi. Intervensi negara dengan penuh kekuatan menghentikan kekerasan fisik terhadap “dukun santet”. “Terlebih dari itu, bila mengingat beberapa dasawarsa sebelum penelitian lapangan yang saya lakukan, bahkan ketika aparat negara setempat berusaha menghentikan kekerasan, kesia-siaan upaya mereka untuk mengupayakan solusi yang damai menunjukan bahwa, berkaitan dengan masalah perdukunan, keterlibatan negara tanpa kekerasan sering malah mempengaruhi masalah.”[3]

     

    Dengan demikian, terlihat jelas bahwa terdapat bentuk-bentuk dinamika kebudayaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat komunitas lokal di Banyuwangi. Munculnya kekuatan tambahan (polisi dari luar Banyuwangi) berhasil meredam kekerasan yang terjadi. Intervensi-intervensi seperti ini umum terjadi karena ketika kekuatan state lebih lemah daripada rakyat itu sendiri, state cenderung akan mengalah dan menuruti permintaan rakyat seperti kasus yang terjadi, kepolisian membebaskan tahanan terduga pelaku pembunuhan terhadap dukun santet sebagai desakan aksi demonstran solidaritas masyarakat komunitas lokal. Namun lain jadinya ketika kekuatan state lebih kuat dari pada kekuatan rakyat itu sendiri. Selain itu, terdapat juga dinamika yang mengawali kemunculan main hakim sendiri pada tertuduh dukun santet, yaitu gosip.

     “santet merupakan ancaman yang ada di mana-mana dan tak terhindarkan. Orang-orang berupaya melindungi rumah dan orang-orang yang di kasihininya, dengan cara, misalnya, meletakkan jimat di sekeliling rumah”[4]

    “…. Saya tanya sama orang itu, kalau memang betul, tidak usah laporan pada saya, kalau dia itu berani, ya dipukul aja orang itu, ya untuk apa laporan pada saya?”[5]

     

    Kutipan ini menurut saya, Mahfud sebagai kepala RT (perwakilan state/birokrasi) secara tidak langsung merestui tindakan kekerasan. Hal ini seperti adanya dualisme. Disatu sisi, warga di izinkan oleh state yang diwakili oleh Pak Mahfud selaku ketua RT, namun kemudian warga yang tertuduh sebagai pelaku pembunuhan dukun santet malah di tahan oleh pihak yang berwajib. Dengan demikian, negara dalam kasus ini berperan dalam serentetan kasus pembunuhan terduga “dukun santet”, tapi tidak sebagai power yang melindunginya melainkan karena pejabat-pejabat birokrasi[6] dalam menjalankan kewajibannya (pelayanan rakyat) tidak jelas, ambigu. 

    Antara ingin melindungi tertuduh sebagai dukun santet (dalam artian sebagai pelindung dan mediator) ataupun sebagai pihak yang tidak ingin terjadi “keburukan” di desanya (dalam artian setuju terhadap kekerasan main hakim sendiri hingga terbunuh terhadap tertuduh sebagai dukun santet). Kutipan selanjutnya, sebagai berikut:

    Dalam hal perbandingan kebudayaan, sejauh teks yang saya baca, hanya melihat perbandingan bentuk state (Indonesia) dengan bentuk state di Eropa Barat dalam perspektif sejarah dan pengaruh modernisasi. Dalam hal perbandingan bentuk kebuayaan, saya tidak menemukannya. Berikut kutipannya.

    Di sini saya melihat kegagalan di level state dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia dengan menciptakan rasa aman dan kondusif ketika terjadinya konflik tersebut. Meskipun saya menyoroti negara sebagai sebuah tatanan sistem yang gagal dalam mengendalikan masyarakatnya, saya juga menyoroti bahwa hukum masyarakat komunitas lokal[7] yang disepakati bersama juga tidak seharusnya diterapkan. Terlebih kebenarannya belum tentu valid (sah). 

    Mayoritas aksi pembuhunah terhadap tertuduh sebagai “dukun santet” berawal dari desas-desus gosip yang beredar lewat mulut ke mulut di kalangan warga dan kemudian menyebar luas hingga munculnya provokasi untuk membunuh tertuduh dukun santet tersebut.

    Seperti yang sudah saya ungkapkan diatas, penulis tidak hanya mendeskripsikan data mentah dari penelitian etnografi, tetapi juga menjelaskan konteks kenapa kekerasan terhadap tertuduh dukun itu bisa terjadi.

    Pada perspektif masyarakat dari komunitas lokal (desa) kekerasan terhadap tertuduh sebagai dukun santet terjadi karena ketakutan warga akan terjadinya hal-hal buruk di desanya yang disebabkan karena ulah dukun santet tersebut. Warga setempat di Banyuwangi percaya bahwa “dukun santet” secara aktif menggunakan cara-cara gaib untuk menghukum warga desa lainnya. Pada praktiknya, orang yang dicurigai tidak dapat dibedakan dari warga lainnya. “Korban-korban” orang tersebut biasanya tetangga, kerabat, dan kenalan.

    Berbagai tindakan kemudian dilakukan; melempar batu ke atap “dukun santet”, memaksa mereka untuk sumpah pocong, mengusir mereka, dan membunuh mereka.[8] Lebih jauh, dalam perspektif state, negara seperti menjadi suatu tempat yang gagal dan ikut terlibat dalam peristiwa pembunuhan dukun santet di Banyuwangi yang kemudian meluas hingga kawasan Jawa Timur.

    Pada beberapa kasus jarang bantuannya lebih langsung, yang melibatkan aparat setempat secara langsung dalam pembunuhan. Namun bila aparat terlihat “berpihak” pada tertuduh “dukun santet”, mereka menghadapi perlawanan keras dari warga setempat. Ini berarti bahwa perwakilan setempat dari negara sering melemah akibat ikatan sesama warga, sehingga tuntutan terhadap pusat negara dilanggar atau diabaikan.[9]

    Sebagai penutup, kajian etnografi yang tertuang dalam buku Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa, menarik untuk di telaah karena menghadirkan pandangan baru terhadap kajian-kajian kekerasan di Banyuwangi terutama kajian seputar pembunuhan terhadap tertuduh dukun santet. Manfaat lain ketika membaca karya etnografi ini adalah, pembaca menjadi mengerti bahwa pembunuhan terhadap tertutuh sebagai dukun santet tidaklah kejadian yang alamiah. Melainkan terdapat aktor-aktor dibelakangnya yang menyebabkan kekerasahan yang berujung pembunuhan tersebut.

    Karya etnografi ini begitu kompleks di mana Nicholas Herrman melihat pembunuhan secara holistik yang secara logika biasa tidak akan memikirkan bagaimana peran state sebagai salah satu penyebab kematian seseorang. Tapi Nicholas Herrman mampu menjawab hal tersebut dan tak lupa juga melihat dari berbagai sudut pandang seperti religi masyarakat, kepercayaan, lingkungan, politik serta ekonomi.

    Sebenarnya akan jauh lebih kompleks lagi peristiwa pembunuhan yang terjadi di dalam buku ini apabila membacanya dari awal hingga akhir. Namun aku hanya memberikan garis besarnya saja; tulisan ini akan jauh lebih panjang bila saya merincikan satu per satu.

    Apabila teman-teman masih merasa kebingungan dengan susunan kalimat aku atau aku ada salah interpretasi, cacat logika, bisa langsung meninggalkan jejak di kolom komentar, ya. Agar kita bisa sama-sama belajar dan menghidupkan ruang-ruang diskusi.

    Terimakasih sudah mampir. Have a nice day!!!



    [1] Negara VS Santet. Hlm: 197

    [2] Ibid, 46. Prg 2

    [3] Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa. Hlm 190

    [4] Ibid, 67. Prg 2

    [5] Ibid, 7. Prg 1

    [6] Contohnya adalah Pak Mahfud dan Pak Soeprapto sebagai kepala RT dan kepala desa yang berada dalam sistem hirarki birokrasi paling bawah dalam negara, sebagai media titik temu antara negara dan masyarakat komunitas lokal

    [7] Hukum main hakim sendiri

    [8] Ibid, 197. prg 2

    [9] Ibid, 1998. prg 1-2

    Continue Reading


    Peasant, pada awal perkembangannya digolongkan sebagai pendekatan yang mempelajari masyarakat primitif di dunia. Sebab peasant identik dengan ciri masyarakat primitf seperti menggarap lahan secara berkelompok, sebagian hasil produksi digunakan untuk kepentingan ritual, ikatan sosial diantara masyarakat erat hingga kebutuhan faktor produksi sepenuhnya di tentukan oleh keadaan di luar kuasa individu itu sendiri (misalnya terdapat kepercayaan atas kekuatan magis yang menghalangi produksi lahan).

    Istilah peasant merujuk pada individu yang tidak mempunyai lahan untuk di manfaatkan sebagaimana mestinya, tidak mengedepankan keuntungan ekonomi, melainkan menjaga relasi sosial. Relasi sosial dengan siapa? Ya si empunya lahan atau disebut Patron. Jadi, peasant ini menggarap lahan yang dipunyai oleh si patron tadi.

    Tentu saja peasant ini berbeda dengan farmer, meskipun bila di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sama-sama diterjemahkan sebagai petani. Farmer merujuk pada individu yang memiliki lahan yang luas dan tentu saja mengedepankan peranan teknologi dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya.

    Ada hal yang tidak kalah penting nih teman-teman apabila membahas peasant, yaitu sistem Bawon. Sistem Bawon merujuk pada upah yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani, khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan tertentu dari hasil panen. Pada sistem bawon tradisional, panen padi merupakan aktivitas komunitas yang dapat diikuti oleh semua atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu dari hasil panen. Alih-alih kaya, mereka (peasant) lebih memilih untuk menyaratakan ekonomi.

    Sistem bawon ini menjadi key point untuk menjaga solidartias masyarakat desa tradisional yang lebih mementingkan sosial daripada keuntungan ekonomi semata. Individu peasant, misalnya di pedesaan Jawa, merupakan contoh yang bisa di lihat dalam bingkai konsep ini. hanya ada dua kata dalam mendeskripsikan hasil produksi, yaitu tjukup (cukup) dan kekurangan – cukup dan tidak cukup.

    Geertz, salah satu antropolog kebangsaan Amerika, juga sempat membahas ini dalam tulisannya Agricultural involution: the processes of ecological change in Indonesia (1963). Geertz melihat di pedesaan Jawa terdapat sebuah kesamaan dan keseragaman dalam pengalaman umum kemiskinan sebagai proses dari agricultural involution. Dia menulis “dibawah tekanan, meningkatnya jumlah dan sumber daya yang terbatas, desa di Jawa secara sosial tidak bercabang seperti halnya banyak negara lainnya yang menjadi sekelompok tuan tanah besar dan sekelompok budak dekat yang tertindas. Melainkan mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan ekonomi yang relative tinggi dengan membagi sumberdaya ekonomi menjadi potongan-potongan kecil.

    Lalu bagaimana sih hubungan antara patron-client ini?  Kalau kata James C. Scott, ilmuwan politik dalam tulisannya yang berjudul Patron-Clinet Politics and Political Change in Southeast Asia (1972), ‘the patron-client relationship—an exchange relationship between roles—may be defined as a special case of dyadic (two-person) ties involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) use his own influence and resources to provide protection or benefits, or both, for a person of lower status (client) who, fir his part, reciprocates by offering general support and assistance, including personal servies, to the patron’.

    Untuk lebih mudah memahaminya, gini teman-teman; ntah itu seorang individu atau kelompok individu, orang ini punya resources yang besar pengaruhnya kuat nih, baik secara ekonomi, sosial ataupun secara politik. Tentunya si orang yang punya pengaruh kuat ini gak bisa dong mengerjakan semuanya sekaligus, misalnya dia punya bisnis dimana-mana. Orang ini cari individu lain yang posisi atau pengaruhnya secara sosial-ekonomi-politik ‘di bawah’ untuk menjalan bisnis dari si orang yang punya pengaruh kuat tadi. Secara tidak langsung karena sudah memperkerjakan orang ‘di bawah’ tadi, tentunya harus ngasih imbalan dong, yaitu orang di bawah ini akan membereikan loyalitas, kesetiaan, tenaga ataupun imbalan lainnya kepada si punya bisnis tadi. Si orang yang punya bisnis pun juga memberikan imbalan ke orang di bawah tadi selain upah, yaitu perlindungan. Begitu pola yang terjadi, sehingga di lihat hubungan patron-client ini sebagai sebuah resiprositas.

    Hubungan antara patron-client ini tidak serta-merta terjadi di wilayah pedesaan saja, melainkan dalam mekanisme birokrasi dan politik praktis juga sering terjadi hubungan ini. Bukan jadi rahasia lagi kalau ada individu-individu tertentu yang memanfaatkan kekuatannya guna melanggengkan kekuasaan politik. Contoh nyatanya, lihat saja dinasti politik Ratu Atut Chosiyah. Dalam perjalanan dinasti politik, tidak terlepas dari peran para pendekar dalam memuluskan jalan membangun dinasti politik tersebut.

    Hubungan-hubungan patron-client ini sudah terjadi sejak masa kolonial di mana pihak penjajah (sebagai patron) memanfaatkan kekuasaanya untuk merangkul petinggi-petinggi kerajaan atau pemerintahan kala itu guna meraup hasil bumi Nusantara; tentunya dengan iming-iming imbalan tertentu. Bagi yang hanya memikirkan isi perut, pastilah tawaran penjajah ini diterima dan mengorbankan rakyatnya sendiri. Sebagai imbalan, petinggi kerajaan atau pemerintahan ini akan memberikan kesetiaan kepada patron-nya.

    Sebagai penutup dari tulisan ini, aku menjabarkan kembali perihal peasant dan patron-client ini secara sederhana. Peasant (dalam hal ini sekaligus berstatus sebagai client) sebagaimana yang telah aku bahas di atas, merupakan individu yang powerless (baik dalam hal sosial-ekonomi-politik), artinya ia hanya memiliki daya tawar-menawar yang lemah atas keadaan yang ia alami. Kemudian client ini membutuhkan seorang patron agar hidup dan kehidupannya dapat berlangsung. Dalam setting desa-desa, client akan bekerja di lahan milik seorang tuan tanah (patron) dan akan memberikan loyalitas dan tenaganya kepada patron; begitu juga seorang patron akan memberikan perlindungan bagi client-nya.

    Seperti itulah teman-teman realitas yang terjadi saat ini. Semoga dengan sedikit tulisan ini bisa memberikan wawasan baru bagi teman-teman pembaca.

    Apa bila teman-teman masih ada yang kurang mengerti atau kesalahan tafsir dari saya, silakan meninggalkan jejak di kolom komentar agar kita bisa saling belajar.

    Terimakasih sudah menyempatkan waktunya untuk mampir dan membawa. 

    Have a nice day!!!

    Continue Reading

    BAHASA PROKEM
    Komunikasi & Kriminalitas

    Beberapa tahun belakangan ini, bahasa prokem muncul sebagai bahasa baru yang digunakan pada kalangan anak muda kota Jakarta untuk berkomunikasi. Uniknya, pada bahasa prokem, kosa katanya hanya di mengerti pada kelompok sosial tertentu. Hal tersebut disebabkan pada perkembangannya, bahasa prokem digunakan sebagai sarana komunikasi yang digunakan oleh sekelompok preman dengan tujuan orang lain tidak mengetahui apa yang mereka bicarakan.[1]

    Tapi sebenarnya, apa sih itu bahasa prokem? Mudahnya, bahasa prokem itu bahasa gaul, yang biasa di gunakan oleh muda-mudi perkotaan dalam berkomunikasi. Eits, tapi pada penggunaannya, dahulu bentuk bahasa ini identik dengan gaya komunikasi yang digunakan oleh pelaku kejahatan dalam aksinya, karena hanya mereka-mereka (pelaku kejahatan) inilah yang mengerti artinya.

    Untuk memahaminya lebih jauh, aku akan membawa teman-teman ke masa lampau. Kita akan menelusuri bahasa yang digunakan di kalangan anak muda khusunya kota Jakarta pada masa itu.. Seorang penulis yang bernama Yudhis, memberikan contoh sebuah percakapan di kalangan anak muda Jakarta :


    Roni Volvo dan kawan-kawan lagi asyik cuap-cuap sembari nenggak es teler. Linda cilacap datang sama gacoannya, Deni Ceking.
    Ya nggak? ya nggak? ya nggak? Roni menyapa
    - assyiik ! sahut linda dan doni
    - Lu semakin-semakin aja sekarang, Lin
    - wah ! geer deh gue !
    - terus deh
    [2]


    Bila kita cermati percakapan di atas, kita tahu bahwa percakapan tersebut tidak memberikan sebuah pesan seperti yang dilakukan oleh sekolompok preman ketika melakukan aksinya, namun percakapakan tersebut lebih menekankan pada pemberian kesan (pujian). Kata demi kata yang terdapat dalam kalimat tersebut dapat di mengerti oleh sesamanya, namun seolah-olah kata tersebut tidak ada artinya.

    Contoh lainnya yaitu dapat kita temukan pada novel pop masa kini, dimana akan sangat mudah untuk menemukan kosa kata aneh yang selama ini belum pernah kita temui dan tidak di temukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Contohnya seperti : bloon, caem, salome, gombal dan sebagainya. Secara umum, kata-kata tersebut bukanlah kata-kata prokem tapi kata-kata yang banyak disebut sebagai “bahasa anak muda”.

    Terdapat suatu fenomena bila suatu kata dalam bahasa terus bertambah seiring dengan berjalannya waktu, yaitu kata yang tadinya terkenal dan sering digunakan oleh anak muda, lambat laun kata tersebut akan mulai ditinggalkan bila nantinya munculnya padanan kata baru untuk menggantikan kata yang lama yang dianggap sudah tidak “keren” ketika diucapkan.

    Chambert-loir, Haney, dan James T. Collins, dalam jurnalnya Those Who Speak Prokem (1984) menuliskan “Youth words in Jakarta today certainly are quite different from those which were ngetop (“far out”) ten years ago”.

    Contoh yang bisa diambil adalah kata “kamseupay” yang sempat ngetren dikalangan anak muda saat itu. Kata kamseupay sendiri merupakan singkatan dari kata “kampungan sekali, udik, payah” yang merujuk pada orang-orang yang berada di luar kelas sosial suatu golongan. Seiring berjalannya waktu, sudah jarang bila kita menemukan kata tersebut diucapkan oleh anak muda ketika berkomunikasi.

    Munculnya padanan kata baru yang menggantikan kata “kamseupay” adalah faktor penyebabnya. Kata “kamseupay” telah digantikan dengan padanan kata yang baru, yaitu kata “alay” yang kata tersebut lebih mudah diucapkan serta mengandung lebih sedikit huruf pada padanan kata tersebut. Maka tak mungkin bila nantinya seiring dengan berjalannya waktu, kata “alay” akan bernasib sama seperti kata “kamseupay” yang sudah jarang digunakan dikarenakan munculnya padanan-padanan kata yang baru di kalangan anak muda khusunya kota Jakarta.

    Banyaknya bermunculan akronim yang bermain dengan kata-kata dan makna terbalik sebagai lelucon maupun ejekan terhadap bahasa itu sendiri, adalah contoh salah satu ciri aspek yang dimiliki oleh bahasa anak muda. Sebagai contoh, kata “gersang” yang memiliki makna/arti “tandus, seperti padang pasir” diubah makna/artinya menjadi “segar dan menarik”; kata Puskesmas yang merupakan singkatan dari “pusat kesehatan masyarakat” oleh anak muda ditafsirkan menjadi “pusing keseleo masuk angin”; begitupun akronim dari kata “Nasakom” yang merupakan singkatan dari “nasionalis, agama, komunisme” yang lalu diubah atau di plesetkan menjadi “nasib satu koma”, dan masih banyak lagi contohnya.

    Baca juga: Yuk Kenalan Sama Antropologi

    Terdapat ciri lain pada bahasa anak muda, yaitu senang dalam mengacaukan ejaan. Dengan menggunakan unsur ortografi asing, kata kata biasa menjadi menggelikan atau bahkan tidak jelas. Contohnya : pra one two land yang bila kita baca maka sepintas akan terdengar seperti perawan tulen, begitupun kata read one yang bila kita baca maka sepintas akan terdengar seperti kata “ridwan” (merujuk pada nama orang); dan masih banyak contoh lainnya.[3]

    Dari contoh diatas tersebut, kita bisa melihat bahwa karakter pada bahasa pemuda, selalu bergantung pada mode dan sering kali mencampur adukkan dengan bahasa asing untuk berkomunikasi atau menyampaikan suatu pesan.

    Bicara mengenai bahasa prokem, terdapat satu rahasia pada bahasa prokem yang kita kenal selama ini. Kosa kata dan prinsip yang dimilikinya berbeda bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan oleh anak muda, walaupun batas diantara keduanya tidak selalu jelas. Lingkungan pengguna bahasa prokem dan bahasa anak muda pun juga berbeda. Pada bahasa pemuda di gunakan kurang lebih oleh semua pemuda dan cenderung menyebar ke lingkaran yang lebih besar atau bisa di katakana munculnya efek domino. Sedangkan pada bahasa prokem, hanya terbatas pada penjahat, anak jalanan maupun beberapa siswa di ibu kota (Chambert-Loir, Haney & Collins, 1984).[4]

    Sebagai upaya untuk memberikan penjelasan yang rinci mengenai bahasa prokem itu sendiri, mungkin alangkah baiknya bila pertama-tama kita mensurvei terlebih dahulu beberapa kode lainnya untuk mengetahui bahwa bahasa prokem bukanlah satu-satunya jargon atau sandi yang telah ada dalam perkembangan bahasa nusantara. Jenis kode tersebut adalah (1) kode magis; (2) kode anak; dan (3) sejumlah kecil kata “slang” dalam bahasa daerah.[5]

    Jenis kode yang pertama adalah kode magis, yang dikaitkan pada serangkaian aktivitas ritual. Di Semenanjung Malaya atau di Champa, misalnya, orang-orang yang ikut terlibat dalam pengumpulan kapur barus menggunakan bahasa khusus untuk berkomunikasi.[6] Bahkan saat ini pengumpulan madu di Sumatera Utara memiliki sejumlah istilah khusus yang digunakan saat mereka mencari sarang lebah.[7] Kegiatan tersebut dinilai berbahaya, karena seseorang harus memasuki hutan dan memanjat pohon yang tinggi dan yang lebih penting, hutan dan pepohonan dianggap dihuni oleh berbagai jenis roh dan kekuatan yang tidak terlihat. Karena itu, ciri umum bahasa khusus ini adalah tabu pada kata-kata tertentu. Kode tersebut muncul dari rasa takut dari ancaman kekuatan spiritual, serta pada saat yang sama harus menghormati roh-roh yang mendiami hutan.

    Jenis kode yang kedua adalah salah satu yang biasa disebut sebagai kode anak-anak. Kode ini umumnya digunakan oleh anak-anak usia sekolah dasar dan menengah ke bawah serta karakteristik utamanya adalah pada perubahan bahasa sehari-hari yang sistematis, mengubah setiap kata dengan cara yang sama.

    Contoh yang paling biasa dikenal adalah “bahasa terbalik.” Pada bahasa ini, pengucapan kata tersebut di balik, ada yang mulai di baca dari belakang, maupun dibaca setelah huruf-huruf dalam kata di acak dan terbentuklah suatu kata dengan bunyi berbeda namun mempunyai arti yang sama, seperti : kata “pacar” di ubah menjadi “capar”; kata “besok” diubah menjadi “sebok” kata “balik” diubah menjadi “kilab”, dan sebagainya.

    Biasanya pada jenis kode ini, anak-anak memiliki aturan atau sistem yang lebih sederhana dan yang lebih mengejutkan adalah jenis kode ini dapat digunakan oleh anak-anak secara sistematis untuk membentuk kalimat lengkap dan melakukan percakapan dalam bahasa yang terdengar aneh. Seperti contoh percakapan dibawah ini :

    A: eh, gimokan nih. Entah malem jadi gara? Rencananya kan kita mau keme bareng-bareng. Kebetulan nyokap ame bokap ogut lagi gara dae nih

    B: ini dia yang juga ogut lagi pikirin. Keme dimokan sih? Ogut sih terus terang aja gara ade dokat. Mokal juga kalo ngajak si doi. Sokap aja nih yang ikut ? Cesi ente dibawa nggak? Denger-denger ente sekarang ama si X nih

    A: ah, gokil lo. Doi kan udah dae beruangnya. Bisa-bisa ogut dibikin mokat. Oh ya, ngomong-ngomong perginya naek roda sokap nih ?[8].


    Infiks ‘ok’

    Mengulas bahasa prokem, tidak afdol rasanya bila tidak mengulas ini.

    Infiks ok merupakan metode lain untuk memproduksi kata-kata pada bahasa prokem yang berasal dari bahasa Indonesia. Kata-kata ini terbentuk sesuai dengan dua pedoman: bagian akhir kata dasar dihapus sementara infiks ok ditambahkan ke suku kata kedua dari belakang. Sebagai contoh, kata rumah berubah menjadi rokun; kata preman berubah menjadi prokem; kata sepatu berubah menjadi sepokat, dan seterusnya. Sayangnya, bagaimana sejarah mengenai infisk ok tidak diketahui.

    Dalam proses pembentukan kata dengan menggunakan infiks ok, ada juga pengecualian yang terkadang mengindikasikan kecendrungan umum tertentu namun terkadang susunan kata dan pengucapannya menjadi kacau. Kata “nyak” untuk “ibu” misalnya, berubah menjadi nyokap, bukan nyokak (mungkin agar mirip dengan bunyi bokap yang berasal dari kata “bapak.”)

    Perlu dicatat bahwa beberapa kata dibentuk oleh dua pola simultan perubahan morfologi. Kata kodu, misalnya, berasal dari kata duit yang lalu dengan menggunakan infiks ok berubah menjadi doku dan kemudian diartikulasikan menjadi kata kodu. Demikian pula dengan kata Cina, berubah menjadi cokin, dan kemudian kocin, kata bini berubah menjadi bokin, lalu kobin; pulang berubah  menjadi kospul, lalu poskul, dan seterusnya.

    Sebenarnya, morfologi yang terdapat pada bahasa prokem sering menyimpang dari peraturan yang ada. Pada dasarnya bahasa prokem adalah hasil permainan kata.[9]

    Infiks ok adalah unsur utama dalam bahasa prokem. Belum diketahui asal mula infiks ini untuk apa atau mengapa dan kapan penggunaanya digunakan dalam bahasa prokem. Seorang wartawan pernah mempublikasikan pendapat bahwa bahasa prokem ditemukan pada akhir tahun 1960 oleh Kusni Kasdut[10] saat dia berada di penjara. Atau bisa dikatakan, sebenarnya bahasa prokem mungkin lebih tua dari pada itu. Bagaimanapun juga, perlu ditekanka bahwa apa yang disebut sebagai bahasa prokem sebenarnya bukan bahasa dalam artian sebenarnya, tapi hanya sebuah kumpulan kosa kata.

    Bahasa Prokem dan Kriminalitas

    Bahasa prokem memiliki fungsi yang berbeda bila penggunanya antara siswa dan narapidana. Di lingkup kriminalitas, contohnya pada narkotika, istilah tersebut berubah dengan pesat. Antara lain menggantikan kata yang sudah terlalu dikenal luas dengan yang baru dan masih rahasia, yang hanya makna/artinya diketahui oleh narapidana itu sendiri. Misalnya kata untuk “ganja” telah berubah menjadi lege, lesige, dan gelce.[11

    Yang menjadi pertanyaannya adalah, bila bahasa prokem awal terbentuknya di kota Medan, bagaimana bisa bahasa tersebut bisa sampai ke ibu kota lalu berkembang di kalangan penjahat maupun anak jalanan ? Mungkin anak-anak jalanan dari kota Medan berperan dalam menyebarkannya ke ibu kota. Bagaimanapun juga, anak-anak jalanan adalah kelompok perantara yang telah membawa bahasa prokem dari kelompok kriminal ke kelompok siswa, dan hal tersebut tampaknya telah dimulai sekitar tahun 1970. Pada akhir tahun 1960an, bahasa prokem sudah mulai digunakan oleh kaum anak muda yang terbiasa untuk menggunakan narkotika, dan baru pada tahun 1975, bahasa prokem mulai menyebar luas dikalangan anak muda di ibu kota.[12]

    Seperti itulah teman-teman, bahasa prokem dan perkembanganya dalam mengisi keunikan bahasa nusantara dari waktu ke waktu. Baik antara bahasa prokem dan bahasa yang digunakan oleh kalangan pemuda, saat ini tidak terdapat batas yang jelas. Bahasa prokem yang dulu hanya di gunakan oleh penjahata ataupun anak jalanan, dewasa ini di rombak oleh kalangan anak muda untuk berkomunikasi dengan sesamanya dan menjadikan bahas prokem sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.

    Apabila teman-teman masih merasa kebingungan dengan bahasan di atas, ada hal yang salah interpretasi oleh saya ataupun pertanyaan lainnya, silakan mengisi kolom komentar di bawah agar kita bisa sama-sama belajar.

     

    Terimakasih sudah menyempatkan waktunya. 

    Have a nice day. 


    Referensi

    [1] Akhir tahun 1960, bahasa prokem telah digunakan oleh sekelompok anak muda untuk bertransaksi obat terlarang. Ada yang menyebutkan bahwa bahasa prokem pertama kali digunakan di kota Medan, pada awal tahun 1960.

    [2] Lihat Yudhistira A. N. M. Massardi, "Bahasa Ίuar” dan proses pencarian," Jurnal yang diterbitkan pada Seminar Tentang Multilingualisme, Pacet (August 19-22, 1981).

    [3] Contoh seperti ini muncul pada novel masa kini dan telah dipelajari oleh Dr. Boen S. Oemarjati

    (“Grafiti dan pemakaian bahasa oleh remaja : menolak kerutan dahi,” Bahasa dan Sastra 4, 1 (1978).

    Ibid, pp. 107

    [4] Chambert-Loir, Haney, dan James T. Collins

    1984. Those Who Speak Prokem. Indonesia No. 37 (Apr, 1984), pp. 107.

    [5] Ibid, pp. 107

    [6] Lihat Pagan Races of the Malay Peninsula (London, 1906), vol. 2; Winstedt, "The Camphor Languages of Johore and Southern Pahang," Journal of the Federated Malay States Museums, Vol. 9 (1920); Cabaton,

    "A propos d'une langue speciale de I'lndochine," Etudes Asiatiques (Paris, 1925)

    [7] Lihat Goldsworthy, "Honey Collecting Ceremonies on the East Coast of North Sumatra,"

    Studies in Indonesian Music, ed. M. Kartomi (Monash University, 1978).

    [8] Diambil dari Kompas (February 1, 1981).

    Chambert-Loir, Haney, dan James T. Collins

    1984. Those Who Speak Prokem. Indonesia No. 37 (Apr, 1984), pp. 114.

    [9] Chambert-Loir, Haney, dan James T. Collins

    1984. Those Who Speak Prokem. Indonesia No. 37 (Apr, 1984), pp. 113.

    [10] Ibid, pp. 113.

    [11] Ibid, pp. 114

    [12] Ibib, pp. 115

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Photo Profile
    Fajar Adi Maulana Mahasiswa Antropologi Sosial

    Seorang individu ambivert yang mencintai seni, musik dan literasi

    Lets be Friend

    • facebook
    • Linkedin
    • instagram

    Blog Archive

    • Januari 2021 (4)
    • Desember 2020 (1)
    • Agustus 2018 (1)
    • Januari 2018 (3)
    • Juli 2016 (1)

    Popular Posts

    • About Me
    • RASANYA MENJADI MAHASISWA (UI)



    facebook Twitter instagram linkedin

    Created by Fajar Adi Maulana modif from modif from | FISIP UI 2016

    Back to top