NEGARA VS SANTET: KETIKA RAKYAT BERKUASA

Januari 05, 2021

Review buku check!!

Hallo teman-teman pembaca. Terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk mampir di sini.

Kali ini topiknya seru nih, teman-teman. Maaf ya kalau dalam segi style penulisan saya tidak seperti tulisan sebelum-sebelumnya. Karena topiknya seru, maka saya akan membawakannya dengan style penulisan serius, tapi tetap dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti.

Peristiwa yang akan saya jabarkan dalam tulisan kali ini benar-benar pernah terjadi, pun judul tulisan ini, Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa, karya Nicholas Herriman, merupakan judul dari sebuah buku yang menelusuri peristiwa ini secara mendalam. 

Bagi kamu yang tertarik untuk membacanya lebih dalam, bisa beli di sini.

So, tanpa berlama-lama lagi, langsung ke TKP!!!!


Sejak Indonesia memerdekakan diri penjajahan kolonialisme pada 17 Agustus 1945 gejolak permasalahan demokras di Indonesia mengalami pasang surut. Pada era Soekarno tercatat bila Indonesia pernah mengalami dua kali pergantian sistem demokrasi; parlementer dan terpimpin. Orde Baru nampaknya memberikan suatu pencerahan terhadap demokrasi di Indonesia yang menawarkan demokrasi pancasila. Namun sayangnya demokrasi pada masa ini cenderung mengarah ke bentuk tirani, dengan mengatasnamakan keadilan untuk masyarakat.

Jatuhnya era Soeharto ditandai dengan munculnya pergerakan-pergerakan oleh mahasiswa yang merasa gerah dengan rezim Orde Baru yang sangat membatasi hak-hak asasi manusia. Kemudian kekisruhan terjadi di mana-mana hingga ke pelosok-pelosok desa. Nampaknya dalam setiap pergantian sistem demokrasi selalu menghadirkan kekerasan sebagai awal memasuki sistem demokrasi yang baru. Hal tersebut dapat kita amati pada kekisruhan 1965 yang menandai pergantian dari era Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno menuju era Orde baru yang dipimpin oleh Soeharto. Kemudian kekisruhan juga terjadi ketika lepasnya rezim Orde Baru dan memasuki era Reformasi yang dipimpin oleh BJ Habibie kala itu.

Buku Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa memberikan gambaran ketika terdapatnya perjumpaan antara negara dengan komunitas lokal. Bentuk negara yang telah memasuki era reformasi dan demokrasi yang menjunjung hak asasi manusia sehingga ketika peran negara melemah dalam level komunitas lokal (desa) maka dengan demikian demokrasi seakan-akan menjadi “alat” ampuh dalam pembenaran terhadap aksi kekerasan yang terjadi. 

Bentuk kekerasan yang terjadi ketika peran state melemah dalam komunitas lokal adalah serentetan pembunuhan terhadap individu yang dianggap sebagai “dukun” dengan cara main hakim sendiri dan pada akhirnya kekisruhan ini meluas hingga berbagai wilayah di Jawa Timur pada tahun 1998.

Meluasnya kekerasan dengan cara main hakim sendiri hingga terbunuh yang terjadi pada individu dianggap “dukun” menjadi bukti nyata bahwa aparat (state) tunduk terhadap tekanan yang diberikan oleh masyarakat. Isu mengenai “dukun santet” di Banyuwangi merupakan puncak dari serentetan permasalahan konflik di Indonesia pada masa reformasi di mana state dianggap tidak berdaya dalam melindungi warganya yang terkena “santet. ” Lebih jauh, buku ini memberikan gambaran bila adanya pembiaran dari aparat negara (polisi, tentara, kepala RT/birokrasi) terhadap aksi yang dilakukan oleh masyarakat.

Hal yang diperhatikan adalah ketika “santet” saat ini sudah menjadi sebuah kebudayaan dalam pandangan masyarakat banyuwangi. Santet dalam hal ini berarti ilmu hitam yang membawa malapetaka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkan kekuatan ini melalui perantara orang pintar yang disebut sebagai dukun. Biasanya kekuatan ini menggunakan jasa makhluk tak kasat mata dalam aktivitasnya. Warga dalam komunitas lokal di Banyuwangi percaya bahwa “dukun santet” secara aktif menggunakan cara-cara gaib untuk menghukum warga desa lainnya.[1]

Hal unik yang menarik perhatian adalah ketika aparat negara (kepala desa, birokrasi) mengambil peran menjadi pihak ke tiga dalam penyelesaian masalah (upaya mediasi), negara, yang di representasikan dengan peran kepala desa, akan menghadapi perlawanan keras dari warga setempat. Hal tersebut dapat kita temui pada contoh kasus yang dituangkan di dalam buku. Ketika individu diduga pelaku dalam pembunuhan “dukun santet”, warga akan secara bersama-sama melakukan aksi demonstran dan mendesak aparat kepolisian untuk membebaskan para terduga pelaku pembunuhan. Dengan alasan keamanan dan tidak ingin menimbulkan korban jiwa, negara (aparat keamanan) terpaksa tunduk atas aksi demonstran tersebut dan melepaskan terduga pelaku pembunuhan dengan bersyarat.

Secara garis besar, buku ini mendeskripsikan bentuk-bentuk perlawanan dari bawah (komunitas lokal atau desa). Perlawanan ini terjadi karena aparat setempat (kepala desa, polisi dan tentara) berusaha menjadi mediator dalam konflik pembunuhan atas individu yang di percayai sebagai seorang dukun santet. Alih-alih menjalankan kewajibannya sebagai pihak mediator agar suasana kondusif, warga yang tergabung dalam masyarakat lokal tidak memberikan ruang untuk terjadinya mediator tersebut. Berdasarkan hal itu, Scott (1985) pernah menuliskan fenomena itu dengan istilah ‘senjata orang lemah’; bila perlawanan terbuka terlalu berbahaya atau tidak efektif, ‘orang lemah’ beralih, contohnya, menjadi malas, mencuri dari atasan dan bentuk-bentuk ‘perlawanan’ sehari-hari yang tidak terorganisasi lainnya”. [2]

Saya melihat fokus kajian utama dalam tulisan ini yaitu untuk melihat fenomena sosial berupa kekerasan yang bersumber pada kebudayaan Banyuwangi, yaitu main hakim sendiri hingga terbunuh, serta hubungannya antara demokrasi, kekerasan dan budaya dalam peristiwanya. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nicholas Herriman dalam bukunya Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa, mengungkap bahwa proses terjadinya kekerasan yang terjadi di Banyuwangi bukanlah kekerasan yang bersifat alami yang disebabkan oleh kebudayaan main hakim sendiri. Melainkan di balik kekisruhan-kekisruhan tersebut terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi seperti: ketidak mampuan negara dalam melindungi warganya, tuduhan atas individu yang dianggap sebagai dukun santet, tunduknya aparatur negara terhadap tuntutan rakyat serta ketidaksanggupan pemimpin pemerintahan (kepala desa) sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

Maka tak heran bila bentuk-bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh state dengan tujuan mengendalikan dan mengatur rakyat tidak berlaku pada masyarakat yang tinggal pada komunitas lokal (desa) di Banyuwangi, disebabkan semakin jauh dari pusat kota, hukum-hukum yang dikeluarkan oleh negara akan semakin melemah ketika memasuki masyarakat pada komunitas lokal (desa) dan lebih memilih menggunakan hukum yang berlaku pada komunitas sosial tersebut. Contohnya hukum main hakim sendiri terhadap terduga dukun santet hingga menyebabkan kematian.

Berbicara mengenai persoalan dinamika kebudayaan dan kehidupan bermasyarakat, dalam karya etnografi karya Nicholas Herriman menyuguhkan gambaran yang jelas tentang persoalan dinamika kehidupan masyarakat komunitas lokal di Banyuwangi, baik sebelum terjadinya kekerasan terhadap terduga dukun santet maupun pasca kedatangan “kekuatan dari luar”. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut:


“tidak mengejutkan bahwa pada saat lonjakan pembunuhan tahun 1998, sebelum kekuatan dari luar didatangkan, aparat negara setempat awalnya gagal membendung kekerasan, dan malah simpati terhadap kekerasan tersebut. Baru setelah kekuatan yang lebih besar dan lebih mengancam yang mencakup aparat polisi dari luar Banyuwangi lonjakan pembunuhan tertuduh “dukun santet” teratasi. Intervensi negara dengan penuh kekuatan menghentikan kekerasan fisik terhadap “dukun santet”. “Terlebih dari itu, bila mengingat beberapa dasawarsa sebelum penelitian lapangan yang saya lakukan, bahkan ketika aparat negara setempat berusaha menghentikan kekerasan, kesia-siaan upaya mereka untuk mengupayakan solusi yang damai menunjukan bahwa, berkaitan dengan masalah perdukunan, keterlibatan negara tanpa kekerasan sering malah mempengaruhi masalah.”[3]

 

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa terdapat bentuk-bentuk dinamika kebudayaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat komunitas lokal di Banyuwangi. Munculnya kekuatan tambahan (polisi dari luar Banyuwangi) berhasil meredam kekerasan yang terjadi. Intervensi-intervensi seperti ini umum terjadi karena ketika kekuatan state lebih lemah daripada rakyat itu sendiri, state cenderung akan mengalah dan menuruti permintaan rakyat seperti kasus yang terjadi, kepolisian membebaskan tahanan terduga pelaku pembunuhan terhadap dukun santet sebagai desakan aksi demonstran solidaritas masyarakat komunitas lokal. Namun lain jadinya ketika kekuatan state lebih kuat dari pada kekuatan rakyat itu sendiri. Selain itu, terdapat juga dinamika yang mengawali kemunculan main hakim sendiri pada tertuduh dukun santet, yaitu gosip.

 “santet merupakan ancaman yang ada di mana-mana dan tak terhindarkan. Orang-orang berupaya melindungi rumah dan orang-orang yang di kasihininya, dengan cara, misalnya, meletakkan jimat di sekeliling rumah”[4]

“…. Saya tanya sama orang itu, kalau memang betul, tidak usah laporan pada saya, kalau dia itu berani, ya dipukul aja orang itu, ya untuk apa laporan pada saya?”[5]

 

Kutipan ini menurut saya, Mahfud sebagai kepala RT (perwakilan state/birokrasi) secara tidak langsung merestui tindakan kekerasan. Hal ini seperti adanya dualisme. Disatu sisi, warga di izinkan oleh state yang diwakili oleh Pak Mahfud selaku ketua RT, namun kemudian warga yang tertuduh sebagai pelaku pembunuhan dukun santet malah di tahan oleh pihak yang berwajib. Dengan demikian, negara dalam kasus ini berperan dalam serentetan kasus pembunuhan terduga “dukun santet”, tapi tidak sebagai power yang melindunginya melainkan karena pejabat-pejabat birokrasi[6] dalam menjalankan kewajibannya (pelayanan rakyat) tidak jelas, ambigu. 

Antara ingin melindungi tertuduh sebagai dukun santet (dalam artian sebagai pelindung dan mediator) ataupun sebagai pihak yang tidak ingin terjadi “keburukan” di desanya (dalam artian setuju terhadap kekerasan main hakim sendiri hingga terbunuh terhadap tertuduh sebagai dukun santet). Kutipan selanjutnya, sebagai berikut:

Dalam hal perbandingan kebudayaan, sejauh teks yang saya baca, hanya melihat perbandingan bentuk state (Indonesia) dengan bentuk state di Eropa Barat dalam perspektif sejarah dan pengaruh modernisasi. Dalam hal perbandingan bentuk kebuayaan, saya tidak menemukannya. Berikut kutipannya.

Di sini saya melihat kegagalan di level state dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia dengan menciptakan rasa aman dan kondusif ketika terjadinya konflik tersebut. Meskipun saya menyoroti negara sebagai sebuah tatanan sistem yang gagal dalam mengendalikan masyarakatnya, saya juga menyoroti bahwa hukum masyarakat komunitas lokal[7] yang disepakati bersama juga tidak seharusnya diterapkan. Terlebih kebenarannya belum tentu valid (sah). 

Mayoritas aksi pembuhunah terhadap tertuduh sebagai “dukun santet” berawal dari desas-desus gosip yang beredar lewat mulut ke mulut di kalangan warga dan kemudian menyebar luas hingga munculnya provokasi untuk membunuh tertuduh dukun santet tersebut.

Seperti yang sudah saya ungkapkan diatas, penulis tidak hanya mendeskripsikan data mentah dari penelitian etnografi, tetapi juga menjelaskan konteks kenapa kekerasan terhadap tertuduh dukun itu bisa terjadi.

Pada perspektif masyarakat dari komunitas lokal (desa) kekerasan terhadap tertuduh sebagai dukun santet terjadi karena ketakutan warga akan terjadinya hal-hal buruk di desanya yang disebabkan karena ulah dukun santet tersebut. Warga setempat di Banyuwangi percaya bahwa “dukun santet” secara aktif menggunakan cara-cara gaib untuk menghukum warga desa lainnya. Pada praktiknya, orang yang dicurigai tidak dapat dibedakan dari warga lainnya. “Korban-korban” orang tersebut biasanya tetangga, kerabat, dan kenalan.

Berbagai tindakan kemudian dilakukan; melempar batu ke atap “dukun santet”, memaksa mereka untuk sumpah pocong, mengusir mereka, dan membunuh mereka.[8] Lebih jauh, dalam perspektif state, negara seperti menjadi suatu tempat yang gagal dan ikut terlibat dalam peristiwa pembunuhan dukun santet di Banyuwangi yang kemudian meluas hingga kawasan Jawa Timur.

Pada beberapa kasus jarang bantuannya lebih langsung, yang melibatkan aparat setempat secara langsung dalam pembunuhan. Namun bila aparat terlihat “berpihak” pada tertuduh “dukun santet”, mereka menghadapi perlawanan keras dari warga setempat. Ini berarti bahwa perwakilan setempat dari negara sering melemah akibat ikatan sesama warga, sehingga tuntutan terhadap pusat negara dilanggar atau diabaikan.[9]

Sebagai penutup, kajian etnografi yang tertuang dalam buku Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa, menarik untuk di telaah karena menghadirkan pandangan baru terhadap kajian-kajian kekerasan di Banyuwangi terutama kajian seputar pembunuhan terhadap tertuduh dukun santet. Manfaat lain ketika membaca karya etnografi ini adalah, pembaca menjadi mengerti bahwa pembunuhan terhadap tertutuh sebagai dukun santet tidaklah kejadian yang alamiah. Melainkan terdapat aktor-aktor dibelakangnya yang menyebabkan kekerasahan yang berujung pembunuhan tersebut.

Karya etnografi ini begitu kompleks di mana Nicholas Herrman melihat pembunuhan secara holistik yang secara logika biasa tidak akan memikirkan bagaimana peran state sebagai salah satu penyebab kematian seseorang. Tapi Nicholas Herrman mampu menjawab hal tersebut dan tak lupa juga melihat dari berbagai sudut pandang seperti religi masyarakat, kepercayaan, lingkungan, politik serta ekonomi.

Sebenarnya akan jauh lebih kompleks lagi peristiwa pembunuhan yang terjadi di dalam buku ini apabila membacanya dari awal hingga akhir. Namun aku hanya memberikan garis besarnya saja; tulisan ini akan jauh lebih panjang bila saya merincikan satu per satu.

Apabila teman-teman masih merasa kebingungan dengan susunan kalimat aku atau aku ada salah interpretasi, cacat logika, bisa langsung meninggalkan jejak di kolom komentar, ya. Agar kita bisa sama-sama belajar dan menghidupkan ruang-ruang diskusi.

Terimakasih sudah mampir. Have a nice day!!!



[1] Negara VS Santet. Hlm: 197

[2] Ibid, 46. Prg 2

[3] Negara VS Santet: Ketika Rakyat Berkuasa. Hlm 190

[4] Ibid, 67. Prg 2

[5] Ibid, 7. Prg 1

[6] Contohnya adalah Pak Mahfud dan Pak Soeprapto sebagai kepala RT dan kepala desa yang berada dalam sistem hirarki birokrasi paling bawah dalam negara, sebagai media titik temu antara negara dan masyarakat komunitas lokal

[7] Hukum main hakim sendiri

[8] Ibid, 197. prg 2

[9] Ibid, 1998. prg 1-2

You Might Also Like

0 komentar